Senin, 06 Juli 2015
RUMI TENTANG MUSIK DAN PUISI
Seperti sufi pada umumnya, Rumi bukan hanya seorang pencinta puisi. Tetapi juga seluruh cabang seni seperti musik, tari dan seni rupa. Bagi sufi secara umum seni religius dan kerohanian dapat dijadikan bukan hanya sebagai sarana dakwah, tetapi untuk meningkatkan bobot pengalaman religius dan kerohanian itu sendiri. Dengan kata lain seni sebagai sarana kontemplasi dan meditasi, dan kendaraan naik menuju pengalaman kerohanian yang lebih tinggi. Pada peringkat ini dia berfungsi sebagai pemulihan bagi jiwa manusia. Karena itu tak mengherankan filosof dan dokter seperti Ibn Sina menggunakan musik sebagai sarana pengobatan bagi pasien yang mengalami gangguan jiwa.
Dalam wawasan estetika sufi, seni sebagai ungkapan jiwa memiliki setidak-tidaknya empat fungsi yang bermanfaat bagi pemulihan jiwa. Pertama, ‘tajarrud’ pembebasan jiwa dari hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan melalui hal-hal yang bersifat duniawi. Bunyi yang merupakan media musik, kata yang merupakan media puisi, bentuk dan watrna yang merupakan media seni rupa, gerak yang merupakan media tari – berasal dari hal-hal yang duniawi. Namun dapat dijadikan tangga naik menuju pengalaman kerohanian setelah diolah oleh seniman secara estetik dan kreatif. Kedua, “tawajjud” (dari kata wajd yang artinya perjumpaan dalam hati, kekusyukan, ekstase). Seni memberikan kekusyukan sebab itu dapat dijadikan sarana kontemplasi dan meditasi. Ketiga, seni mendidik jiwa manusia untuk mengendalikan dan membimbing perasaan atau emosi menjadi positif. Keempat, seni juga memiliki fungsi sosial. Ia mengikat suatu komunitas dalam kebersamaan. Musik yang melanjutkan semangat perjuangan misalnya dapat meningkatkan dan menyatukan semangat juang suatu komunitas.
Sebagai seorang sufi, Rumi sendiri dikenal seorang pencipta komposisi musik dan lagu, serta seorang koreografer ulung pada zamannya. Beliau mahir meniup nay atau seruling. Alat musik kegemarannya selain seruling adalah rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Bukunya Matsnawi diawali dengan pemaparan “Kisah Lagu Seruling”, yang melambangkan dan mengekspresikan kerinduan para sufi untuk kembali ke kampung halamannya yang abadi di alam ketuhanan. Musik yang indah baginya adalah ungkapan kerinduan seseorang terhadap asal usul kerohaniannya di alam yang sebenarnya tidak jauh dari dirinya.
Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, beliau menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya sebagai kerinduan suling yang ingin bersatu semula dengan asalnya iaitu batang pokok bambu yang rimbun. Rasa pilu yang terdengar melalu lagu seruling terbit karena kesedaran bahwa ia terpisah jauh dari batang pokok bambu yang merupakan tempatnya yang asal dan sebenar. Hasratnya untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya itu menyebabkan ia tergerak menyampaikan keluh-kesahnya dalam nyanyian yang merdu. Suling atau seruling melambangkan jiwa yang rindu kepada asal-usul kerohaniannya dalam alam metafizik, dan kerinduannya itu dibakar oleh api cinta. Karena dibakar oleh api cinta maka nyanyian indah dan lagu merdu dapat dihasilkan.
Dalam sajak itu Rumi hendak menjelaskan bahwa semua bentuk seni yang indah berasal dari hati seorang seniman yang cinta akan keindahan hakiki dan dari perasaan rindunya yang membara untuk mencapai keindahan tersebut. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Melalui ungkapan “Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka? Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu!” Rumi menyatakan bahwa mereka yang ingin mengetahui derita jiwa para sufi, yang membuat ia merindukan Tuhannya, agar mendengar kisah lagu seruling dan memahamkan maknanya. Seruling menyampaikan lagu yang sendu dan pilu, namun indah dan merdu, karena kepiluannya yang mendalam disebabkan terpisah dari asal-usul kerohaniannya.
Kepiluan disebabkan berpisah dengan seseorang atau kampung halaman membuat kerinduan seseorang terbakar, dan rindu merupakan permulaaan dari cinta. Ungkapan ‘api cinta’ yang dinyatakan Rumi dalam sajaknya itu ialah api rindu. Sama seperti halnya cinta, rasa rindu dapat membawa jiwa atau fikiran seseorang terbang jauh melampaui awan gemawan untuk menemui orang yang dirindui atau dicintai. Dalam sajak di atas Rumi sekaligus juga hendak menyatakan bahwa musik atau nyanyian dapat dijadikan media menyampaikan rasa rindu dan media untuk terbang jauh ke alam transendental atau kerohanian.
Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan bahwa nyanyian yang merdu dan musik keagamaan yang indah dapat menerbitkan perasaan rindu dan cinta bangkit dalam hati pendengarnya. Hal ini dapat terjadi disebabkan lagu keagamaan yang indah dan penuh harmoni dapat membawa ingat jiwa manusia kepada suara-suara yang pernah di dengarnya dalam alam keabadian. Menurut al-Qur`an Adam dan Hawa, yang merupakan nenek moyang umat manusia, pada mulanya bermukim di Taman Firdaus atau Taman Eden yang diliputi oleh keindahan. Di sana mereka akrab sekali dengan lagu-lagu dan suara yang indah. Maka suara musik atau lagu keagamaan yang indah dapat membakar kerinduan jiwa manusia kepada syurga, yang merupakan tempatnya yang asal. Rumi menulis, yang maksudnya:
Nada suling dan puput yang menawan telinga
Dikatakan dari putaran angkasa biru asalnya
Sedangkan iman yang mengatas rantai angan dan cita
Tahu siapa pembuat suara sumbang dan merdu
Kami ialah bahagian dari Adam, bersamanya kami dengar
Lagu indah para malaikat dan serafim
Kenangan kami, walau tolol dan menyedihkan
Sentiasa tertambat pada alunan musik syurga
O, Musik ialah darah dan daging para pencinta
Musik menggetarkan jiwa sehingga terbang ke angkasa
Bara berpijar, api abadi dalam hati semakin berkobar
Kami dengar sentiasa dan hidup dalam ria dan damai
Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan betapa besarnya pengaruh musik keagamaan kepada jiwa pendengarnya:
.
Gemuruh bunyi terompet dan gedebam suara genderang
Serupa dengan suara gemuruh nafiri alam semesta
Para filosof berkata keselarasan ini dari perputaran angkasa asalnya
Melodi yang dilagukan orang dengan pandura dan kerongkongan
Sesungguhnya ialah suara perputaran angkasa
Para pemeluk agama yang teguh percaya
Pengaruh syurga membuat yang tak menyenangkan menjadi indah
Sejak itulah musik merupakan hidangan para pencinta Tuhan
Karena di dalam musik ada cita rasa ketenteraman jiwa
Apabila jiwa mendengar lagu dan suara seruling
Ia mengumpulkan tenaga dan menjelmakannya ke dalam tindakan
Api cinta semakin berkobar-kobar karena nada lagu yang indah
Seperti semangat orang melemparkan benda berat ke dalam air
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keagamaan dapat memberi ketenangan kepada jiwa dan juga memberi kekuatan, dan dengan demikian keimanan terhadap Sang Kebenaran Tertinggi semakin teguh dan mendalam. Cinta yang mendalam kepada Tuhan dikaitkan dengan tumbuhnya kekuatan batin, dan musik dapat memberi perangsang ke arah itu.
Lagu Seruling
“Lagu Seruling” adalah untaian sajak pembukaan dalam kitab Matsnawi. Dikatakan di dalamnya, bahwa “Setiap orang yang berada di tempat yang jauh dari asalnya, akan merasa rindu untuk kembali ke masa tatkala ia masih bersatu dengannya (asalnya)”. Kerinduan tersebut dilambangkan dengan kerinduan seruling untuk bersatu semula dengan batang pokok bambu. Ungkapan tersebut diilhamkan oleh ayat al-Qur`an, “Inna li` Llah wa inna ilayhi raji`un” (Sesungguhnya dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan).
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa asas kewujudan segala sesuatu bersifat spiritual. Manusia ialah makhluq atau ciptaan Tuhan paling indah dan sempurna dilihat dari sudut kerohanian, karena menurut al-Qur`an manusia itu dicipta mengikut surah-Nya (gambar-Nya) dan ke dalam diri manusia Tuhan meniup roh. Berlandaskan kenyataan tersebut maka roh dipandang sebagai hakikat terdalam diri manusia. Maka itu para sufi menyatakan bahwa di dalam roh manusia ada bahagian paling inti yang merupakan rahsia Tuhan (sirr Allah). Dengan itu manusia pertama sekali ialah makhluq spiritual, bukan makhluq jasmani. Yang menentukan kehidupan manusia ialah kerohaniannya.
Rumi juga menyatakan bahwa “Roh tidak terdinding dari tubuh, pun tubuh tidak terdinding dari roh, namun tubuh tidak diperkenankan melihat roh”. Dengan itu roh dan tubuh sebetulnya dekat, tetapi tubuh tidak dapat melihat roh. Ungkapan tersebut didahului dengan ungkapan, “Rahsia laguku tidak jauh tempatnya dari ratapku, namun mana ada telinga mandengar dan mata melihat.” Ini bermakna makna atau rahsia yang tersembunyi dalam lagu sendu seruling bambu tidak dapat difahamkan dengan pemahaman biasa. Ia dapat difahamkan melalui pendengaran dan penglihatan batin (makrifat).
Terbitnya kesedaran jiwa dan roh akan asal-usul kerohaniannya digerakkan oleh Cinta, bukan oleh logika. Kata Rumi, “Inilah api Cinta yang bersemayam dalam seruling bambu, inilah kobaran semangat Cinta yang terkandung dalam anggur”. Seruling bambu merujuk kepada jiwa yang diresap kerinduan mendalam kepada Tuhan, kobaran semangat Cinta dalam anggur merujuk kepada ekstase atau kemabukan mistikal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar